Mizoram, sebuah negara bagian di timur laut India, perlahan-lahan berhasil keluar dari kemiskinan. Sejak Injil datang ke wilayah itu, umat Kristen di sana menerapkan tradisi lokal yang dinamakan “segenggam beras”, meski penghasilan mereka rendah. Setiap hari, mereka yang memasak akan menyisihkan segenggam beras dan menyerahkannya kepada gereja. Gereja di Mizoram, meski miskin menurut standar dunia, telah menyumbang jutaan dolar untuk pekerjaan misi dan mengirimkan misionaris ke berbagai penjuru dunia. Sejumlah besar warga di negara bagian itu juga percaya kepada Kristus.
John Martin (1789–1854), pelukis era Romantik asal Inggris, terkenal dengan lukisan pemandangan apokaliptik yang menggambarkan kehancuran peradaban manusia. Dalam adegan-adegan fantastis tersebut, manusia terlihat tidak sanggup menanggulangi hebatnya bencana yang terjadi dan begitu tak berdaya menghadapi kehancuran mereka. Salah satu lukisannya, The Fall of Nineveh (Kejatuhan Niniwe), menggambarkan orang-orang yang berusaha melarikan diri dari kehancuran berupa ombak yang menggunung di bawah awan gelap yang menggulung.
Seorang kawan telah melanggar janji pernikahannya. Sungguh menyakitkan melihat ia menghancurkan keluarganya. Saat berusaha berdamai kembali dengan istrinya, ia meminta nasihat saya. Saya menasihatinya untuk tidak hanya sekadar memberikan kata-kata, melainkan ia perlu bersikap proaktif dalam mencintai istrinya dan menyingkirkan pola dosa apa pun.
Selama lebih dari dua abad, lagu pertama dalam buku Nyanyian Rohani Methodist adalah “Beribu Lidah Patutlah” (O for a Thousand Tongues to Sing). Lagu yang ditulis oleh Charles Wesley dan aslinya diberi judul “Untuk Hari Peringatan Pertobatan” itu digubah untuk memperingati pembaruan rohani yang dicetuskan oleh imannya kepada Yesus. Kedelapan belas bait lagu pujian tersebut menyerukan tentang kebaikan Allah yang mulia bagi mereka yang bertobat dan mengikut Yesus.
Beberapa tahun lalu, gereja kami diundang untuk menjadi tuan rumah bagi sejumlah pengungsi yang melarikan diri dari negara mereka yang mengalami kekacauan akibat perubahan kepemimpinan politik. Seluruh keluarga pengungsi itu datang dengan hanya membawa satu tas kecil. Beberapa jemaat kami memberikan tumpangan kepada mereka, termasuk mereka yang hanya dapat menyediakan sebuah ruang berukuran kecil.
Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak lagi tinggal di sebuah kota di negara bagian Oregon, tempat kami membesarkan anak-anak kami. Banyak kenangan indah yang membekas di sana, dan sebuah kunjungan ke sana baru-baru ini mengingatkan saya pada momen-momen yang telah saya lupakan: pertandingan sepak bola putri kami, rumah lama kami, persekutuan dengan anggota jemaat lainnya, dan restoran Meksiko milik teman-teman kami. Kota itu telah banyak berubah, tetapi ada cukup banyak hal familier yang membangkitkan keinginan saya untuk berkunjung ke sana lagi.
Jinan, seorang anak perempuan berusia lima tahun asal Suriah, terjebak di bawah reruntuhan bangunan lantai dua yang ambruk akibat gempa. Ia berteriak minta tolong sambil melindungi adik laki-lakinya dari puing-puing di sekitar mereka. “Tolong keluarkan aku; aku akan lakukan apa saja,” ia berseru menyayat hati. “Jadi pesuruhmu juga aku mau.”
“Rapikan dulu ruang depan sebelum kamu tidur,” perintah saya kepada salah satu putri saya. “Kenapa adik tidak usah melakukannya?” balasnya langsung, sambil menunjuk adik perempuannya.